Passionate People, pernah nggak sih kamu mencicipi masakan nusantara di negara lain tapi rasanya berbeda jauh dengan yang ada di Tanah Air? Atau pernah nggak kamu makan masakan khas sebuah negara langsung di tempat asalnya dan berbeda juga dengan rasa yang kamu ‘kenal’ selama ini di dalam negeri? Kalau pernah merasakan salah satu atau bahkan keduanya, cari tahu jawabannya dalam kelanjutan artikel ini, yuk!
Siapa sangka urusan cita rasa sebuah makanan ada hubungannya dengan silsilah keluarga? Le Foodist, sebuah sekolah memasak, dalam situsnya menyebutkan bahwa genealogy atau “silsilah keluarga” sangat memengaruhi bagaimana sebuah masakan disukai di suatu negara.
Alasannya, tubuh manusia telah beradaptasi dengan selera makanan dan pilihan masakan yang berbeda di setiap wilayah. Manusia juga sudah terprogram untuk menganggap rasa dan tekstur suatu makanan atau bahan masakan sebagai sesuatu yang normal.
GenoPalate, lembaga yang menyediakan program diet berdasarkan genetik dan DNA, juga menjelaskan kalau untuk bertahan hidup di masa lampau, nenek moyang kita akan mengonsumsi makanan apa pun yang tersedia di hadapan atau sekitar mereka. Artinya, tubuh dan lidah mereka harus menyesuaikan dengan ketersediaan yang ada di lingkungan mereka. Pada akhirnya, itu semua menghasilkan pembentukan metabolisme, sistem pencernaan, dan konsep rasa yang berbeda-beda di setiap wilayah di muka Bumi ini.
Sedikit bersinggungan dengan silsilah keluarga, susunan genetik juga memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap preferensi kuliner dan cita rasa masakan manusia di suatu wilayah dengan wilayah lain. Masih mengutip dari Le Foodist, bukti penelitian bahkan menunjukkan kalau susunan genetik manusia itu memengaruhi komposisi reseptor rasa di lidah.
Hal tersebut berarti, seorang manusia dengan susunan genetik tertentu tidak akan punya jumlah reseptor rasa dasar (manis, asin, pahit, asam, dan umami) yang sama dengan manusia lain yang memiliki susunan genetik berbeda. Dengan demikian, wajar bila manusia yang tinggal di wilayah barat Bumi memiliki sensitivitas rasa yang berbeda dengan manusia yang lahir dan hidup di wilayah timur Bumi.
Pembentukan selera atau kegemaran seseorang terhadap kuliner berawal dari apa yang diberikan orang tuanya sejak dalam kandungan hingga kanak-kanak. Saat masih menjadi janin, kita memang tidak punya pilihan untuk makanan apa pun yang dimakan ibu. Namun mulai kanak-kanak, yaitu saat kita dikenalkan pada makanan padat, indra pengecap kita akan otomatis mengembangkan konsep tentang selera atau rasa-rasa yang kita sukai maupun tidak sukai.
Selera tersebutlah yang akan menjadi “pegangan” kita saat mencoba masakan baru untuk menentukan apakah kuliner tersebut cocok dengan selera kuliner kita atau tidak. Jika ditarik lebih jauh menjadi selera kolektif masyarakat di sebuah wilayah atau daerah, pembentukan selera juga ada kaitannya dengan cara sekelompok manusia mengasosiasikan ketersediaan bahan makanan dengan sebuah rasa.
Vanili, misalnya, lebih sering ditambahkan ke dalam makanan-makanan manis di negara-negara sebelah barat Bumi; seperti mereka yang hidup di Eropa atau Amerika. Namun di negara-negara sebelah timur Bumi, yaitu Asia, vanili justru cenderung ditambahkan pada masakan yang gurih. Jadi, sudah mulai paham, kan, kenapa rasa satu masakan yang sama bisa berbeda jika tersaji di negara lain?
Seperti yang sudah disebutkan pada poin pertama, ketersediaan bahan masakan di sebuah wilayah juga memengaruhi komposisi hidangan di wilayah tersebut. Ambil contoh Amerika Serikat yang punya banyak stok jagung karena produksi massal. Melimpahnya jagung di negara tersebut menciptakan penggunaan sirup jagung fruktosa tinggi sebagai penyedap rasa sampai ke seluruh dunia. Padahal, belum tentu manusia di belahan Bumi lainnya cocok dengan hal itu.
Contoh lain adalah negara tropis seperti Indonesia dan negara-negara di Asia Tenggara yang rata-rata memiliki kuliner dengan cita rasa pedas. Rupanya, hal ini ada hubungannya dengan fakta bahwa rempah-rempah pedas dapat membantu mengurangi hawa panas di sekitar tempat kita berada, membuat orang yang makan menjadi berkeringat sehat, serta merangsang nafsu makan. Ketika makanan-makanan pedas ini “dibawa” ke belahan Bumi yang lain, sangat memungkinkan rasanya mengalami perubahan karena masyarakat di sana tidak familier dengan cita rasa pedas.
Faktor yang tidak kalah penting dari cita rasa masakan adalah konstruksi budaya. Menurut Le Foodist, setiap “makanan enak” itu terbentuk dari bagaimana budaya di wilayah tersebut menilai sebuah makanan.
Di Tiongkok, misalnya, teripang adalah sebuah kudapan yang mewah dan mahal harganya. Kenapa? Karena bagi orang Tiongkok, kerumitan tekstur yang dimiliki teripang itu patut dihargai dengan tinggi. Sementara bagi orang Prancis, teripang tidak ada nilai khas dan layak untuk dipuja-puji. Alasannya, orang Prancis dan negara-negara barat lainnya lebih menyukai hidangan yang beraroma dengan tekstur sederhana, alih-alih tekstur rumit tanpa rasa di mulut.
Begitu juga dengan pilihan menyajikan makanan secara mentah atau matang. Di negara-negara barat, banyak sekali kuliner yang tidak dimasak dan disajikan secara mentah; terutama untuk makanan laut. Namun di wilayah negara-negara berkembang seperti sebagian Afrika dan Asia Tenggara, mayoritas kuliner disajikan dalam keadaan matang karena faktor kualitas air dan standar kebersihan yang sedikit lebih rendah dibanding negara-negara maju di barat.
Konsep kesopanan dan tradisi setempat juga menjadi salah satu konstruksi budaya yang membentuk cita rasa sebuah masakan. Di Indonesia atau India, misalnya, makan dengan tangan dianggap sebagai hal yang sopan; bahkan disarankan. Hal ini membuat ragam kuliner di Indonesia juga India banyak yang dirancang untuk dimakan dengan tangan. Lain halnya dengan konsep makan sopan yang berkembang di barat: menggunakan sendok, garpu, ataupun pisau. Jadinya, kuliner di Eropa ataupun Amerika umumnya dirancang untuk dimakan dengan alat-alat makan tersebut.
Wah, ternyata cukup kompleks juga, ya, alasan di balik sebuah masakan bisa berbeda rasanya di negara lain?
Sumber: