Gultik atau gulai tikungan adalah salah satu destinasi wisata kuliner wajib Ibu Kota—terutama bagi mereka yang datang dari luar Jakarta atau yang senang jalan-jalan di malam hari. Makanan satu ini sebetulnya sudah ada sejak lama sekali, namun kembali naik popularitasnya saat pandemi kemarin. Usut punya usut, gultik ini makanan asal Sukoharjo, loh!
Sepiring gulai tikungan atau gultik di kawasan Blok M, Jakarta Selatan, sebetulnya sudah ada sejak 3 dekade lalu. Melansir dari liputan Kompas, kudapan ini hadir ke Ibu Kota bersamaan dengan gelombang transmigran dari Pulau Jawa pada tahun 1970-an.
Kala itu, gultik dikenalkan oleh kelompok transmigran yang kurang beruntung untuk melanjutkan pekerjaan sesuai keahlian bidangnya. Enggan kembali ke kampung, para transmigran asal Sukoharjo ini kemudian mencoba peruntungan dengan menjajakan masakan khas daerah mereka di sekitar Jalan Lamandau, Jakarta Selatan, atau sekitar satu kilometer dari titik pedagang gultik Blok M saat ini.
Perjalanan panjang gultik dan banyak pedagangnya di kawasan Blok M tentu sudah melalui banyak cerita. Gimana nggak, sejak kehadirannya 30 tahunan lalu, gultik harus menghadapi krisis ekonomi tahun 1998, “matinya” kawasan Blok M sebagai pusat kehidupan pop Ibu Kota, dan yang terbaru, pandemi COVID-19.
Pandemi COVID-19, bahkan, membuat para pedagang memutar otak agar tetap bisa bertahan hidup. Salah satu upaya yang dilakukan adalah mengubah metode penjualan menjadi online melalui platform seperti WhatsApp. Sayangnya, tidak semua pedagang beruntung. Tidak sedikit dari mereka juga terpaksa kembali ke kampung halaman karena tak lagi mampu bertahan di Ibu Kota.
Di sisi lain, kehidupan yang terpusat pada dunia digital akibat pandemi justru menghidupkan lagi spot kuliner gultik di kawasan Blok M. Pasalnya, pengguna media sosial TikTok yang digunakan banyak muda-mudi Indonesia tiba-tiba banyak yang membahas, merekomendasikan, dan mengunjungi area gultik di kawasan Blok M. Akhirnya, tempat kuliner ini menjadi salah satu destinasi wisata kuliner populer bagi anak-anak muda Jakarta maupun luar Jakarta mulai tahun 2022 lalu.
Baca Juga : Gohu Ikan dan Pepaya, 2 Hidangan Segar dari Timur Indonesia
Serupa dengan ketiadaan warung nasi padang di Kota Padang dan seluruh Provinsi Sumatra Barat, di Sukoharjo juga tidak ada warung nasi gulai. Budi, salah seorang pedagang gultik di Blok M, bercerita pedagang nasi gulai malah menjamur di Jakarta.
Nasi gulai sendiri merupakan hidangan nasi dalam porsi sedikit (kurang dari satu centong) yang disiram dengan kuah gulai dan beberapa potong daging sapi atau juga gajih sapi. Kombinasi tersebut kemudian ditaburkan dengan segenggam kerupuk renyah dan taburan bawang goreng. Kudapan ini biasanya disajikan bersama sate-satean, seperti telur puyuh, kulit ayam, ati ayam, dan ampela.
Untuk membuat nasi gulai tikungan, para pedagang biasanya memulainya dari pagi hari. Tepatnya pukul 10.00 pagi, sekelompok pedagang gultik akan membagi tugas mereka di dapur: ada yang menanak nasi, menggoreng kerupuk, menyiapkan 400-500 tusuk sate-satean, dan ada juga yang merebus daging sapi sampai empuk selama sekitar satu jam.
Setelah rebusan daging sapi mendingin, bahan tersebut kemudian dipotong tipis-tipis untuk di-gongso atau ditumis. Potongan daging ini nantinya akan ditumis dengan rempah-rempah seperti bawang merah, bawang putih, cabai merah, lengkuas, kemiri, ketumbar, dan kunyit yang telah dihaluskan. Ketika sudah setengah matang, tumisan daging sapi dan rempah-rempah halus diberi tambahan serai, daun jeruk, dan daun salam. Ketika bumbu telah meresap ke daging, tumisan tersebut ditambahkan santan dan dimasak hingga mendidih.
Para pedagang gultik di kawasan Blok M baru mulai menggelar tenda dan kursi-kursi pada pukul 15.00 dan akan menggulung kembali semua barang dagangan pada pukul 03.00-04.00 keesokan paginya. Biasanya, tenda-tenda warung gultik ini akan mulai ramai pada pukul 19.00 atau 20.00 hingga tengah malam pada hari biasa (hari kerja). Pada akhir pekan, pengunjung yang bersantap di sini cenderung membludak jumlahnya.
Cerita Budi, salah satu pedagang gultik di Blok M, malam Sabtu sate-satean yang mereka siapkan bisa mencapai 500-600 tusuk dan 750-800 tusuk pada Minggu malam. Sementara pada hari biasa, ia hanya menyiapkan sekitar 400 tusuk sate saja.
Jam berdagang yang terbalik dari kehidupan manusia kebanyakan ini, menurut Budi, merupakan upaya mereka untuk terus “menghidupkan Jakarta” dari sudut pandang pejuang rupiah. Walaupun tenda-tenda gultik ini baru ada di malam hingga dini hari, ada saja konsumen yang datang untuk makan. Usut punya usut, mereka adalah pekerja sif malam atau orang-orang yang baru selesai menikmati hiburan malam di sekitaran kawasan Blok M.
Baca juga : Pastel, Jalangkote, dan Panada: Serupa Tapi Tak Sama
Kamu tertarik untuk coba mencicipi hidangan ini, Passionate People? Kalau iya, nih, rekomendasi tenda gultik yang bisa kamu datangi!
Selamat mencoba, semoga kamu suka, ya, Passionate People!
Sumber: